Selasa, 08 September 2009

Biografi Tokoh Keroncong

Gesang Martohartono



Gesang Martohartono atau kerap disebut dengan Gesang saja, lahir di Kota Surakarta, Jawa Tengah, 1 Oktober 1917. Ia adalah seorang penyanyi dan pencipta lagu Jawa yang telah dikenal sebagai “maestro keroncong Indonesia”.
Gesang terkenal lewat lagu ciptaannya, Bengawan Solo yang kemudian mengantarkan dirinya berkeliling Asia, terutama di Indonesia dan Jepang. Lagu “Bengawan Solo” ciptaannya telah diterjemahkan kedalam, setidaknya, 13 bahasa (termasuk
bahasa Inggris, bahasa Cina, dan bahasa Jepang)
Lagu Gesang yang lain di antaranya Pamitan, Caping Gunung, Jembatan Merah, Saputangan, Si Piatu, Roda Dunia, Dunia Berdamai, Tirtonadi, Pemuda Dewasa, Luntur, Bumi Emas Tanah Airku, Dongengan, Sebelum Aku Mati dan Aja Lamis. Kesemuan lagu tersebut telah di aransemen ke berbagai jenis irama. Gesang yang pernah diundang pada festival salju Sapporo atas undangan himpunan persahabatan Sapporo dengan Indonesia pada 1980 itu, juga telah merekam lagu-lagunya dalam bentuk Compact Disk, masing-masing adalah Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949) dan Swasana Desa (1939)
Saat ini Gesang tinggal di Jalan Gatot Subroto bersama keponakan dan keluarganya, setelah sebelumnya tinggal di rumahnya Perumnas Palur pemberian Walikota Surakarta tahun 1984 selama 20 tahun. Ia telah berpisah dengan istrinya tahun 1962. Selepasnya, memilih untuk hidup sendiri. Ia tak mempunyai anak. Pada tanggal 1 Oktober 2008 telah berusia 92 tahun.
Gesang pada awalnya bukanlah seorang
pencipta lagu. Dulu, ia hanya seorang penyanyi lagu-lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan saja di kota Solo. Ia juga pernah menciptakan beberapa lagu, seperti; Keroncong Roda Dunia, Keroncong si Piatu, dan Sapu Tangan, pada masa Perang Dunia II. Sayangnya ketiga lagu ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik
keroncong, pada tahun 1983 Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Pengelolaan taman ini didanai oleh Dana Gesang, sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang.
Gesang kini sudah tidak mencipta lagi. Ia juga tidak mewariskan keahlian mencipta musik keroncong pada siapa pun. Ia mengaku tidak punya punya murid karena ia juga bukan guru. Bahkan kalau ada guru, ia pun mengaku masih akan tetap berstatus murid. Gesang menyerahkan sepenuhnya perkembangan musik keroncong selanjutnya ke generasi muda.
Tahun 1941, setelah menciptakan lagu Saputangan dan putus cinta dengan si pemilik saputangan, Gesang lalu menikah dengan seorang gadis pengagumnya. Setelah menikah selama 20 tahun dan tidak dikaruniai seorang anak pun, pasangan ini memutuskan untuk bercerai pada tahun 1961 dan setelah itu Gesang tak pernah menikah lagi.
Saputangan menjadi ciptaan yang mempunyai arti tersendiri karena lagu tersebut ia ciptakan berdasar pengalaman pribadi yang sulit dilupakan. Menurut penuturannya, saputangan dari kekasih yang menjadi ilham lagu tersebut masih tersimpan dengan baik hingga kini, namun Gesang tak pernah memperlihatkannya kepada siapa pun.
Salah satu bagian terpenting dalam hidup Gesang adalah ketika bergabung dengan Orkes Keroncong (OK) Kembang Kacang sebagai penyanyi. Di Orkes yang dipimpin oleh mendiang Supinah inilah bakat Gesang sebagai penyanyi dan pencipta lagu berkembang. Ia selalu meminta pemain OK Kembang Kacang untuk memainkan setiap lagu baru yang ia ciptakan. Gesang mengaku tak menguasai teori musik.
Salah satu ciri yang ada pada diri Gesang sejak muda adalah kesetiannya terhadap seni. Kesetiaan pada seni itulah yang juga menyebabkan ia harus berpisah dengan istri karena selama berumah tangga Gesang selalu berpindah-pindah tempat tinggal, dari satu kota pementasan ke kota pementasan lainnya. Selain kesetiaan pada seni, satu ciri lain yang menonjol pada Gesang adalah kesederhanaan pribadinya. Ia jauh dari impian yang muluk-muluk. Ia menerima seperti apa adanya semua yang menghampiri hidupnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar